MUDANESIA - Runtuhnya sebagian tubuh Anak Krakatau di Indonesia pada 22 Desember 2018 silam, disebabkan oleh proses destabilisasi jangka panjang dan tidak dipicu oleh perubahan mencolok dalam sistem magmatik yang dapat dideteksi oleh teknik pemantauan yang ada saat ini.
Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam penelitian terbaru yang berjudul Downward-propagating eruption following vent unloading implies no direct magmatic trigger for the 2018 lateral collapse of Anak Krakatau dan dipublikasikan dalam Earth and Planetary Science Letters.
Anak Krakatau telah meletus selama sekitar enam bulan sebelum keruntuhan, dan memperlihatkan lebih dari dua pertiga dari ketinggiannya meluncur ke laut saat pulau itu seolah terbelah menjadi dua. Peristiwa tersebut memicu tsunami dahsyat, yang menggenangi garis pantai Jawa dan Sumatera dan menyebabkan kematian lebih dari 400 orang.
Baca Juga: Awal 2022, Tercatat 6,7 Juta Masyarakat Miskin Kebagian STB TV Digital
Sebuah tim penelitian Inggirs dan Indonesia yang dipimpin oleh University of Birmingham memeriksa material vulkanik dari pulau-pulau terdekat guna mencari petunjuk untuk menentukan apakah letusan kuat dan eksplosif yang diamati sesaat setelah keruntuhan itu memicu tanah longsor dan tsunami.
Bekerja dengan peneliti di Institut Teknologi Bandung, Universitas Oxford dan British Geological Survey, tim melihat karakteristik fisik, kimia dan mikrotekstur dari material hasil letusan.
Disimpulkan bahwa letusan eksplosif besar yang terkait dengan keruntuhan justru disebabkan oleh sistem magmatik yang menjadi tidak stabil sesaat setelah longsoran berlangsung.
Baca Juga: Jadwal dan Lokasi SAMSAT SIM Keliling ONLINE Polres KARAWANG Hari Ini, Jumat 31 Desember 2021
Ini berarti sangat kecil kemungkinannya, bencana di penghujung 2018 lalu disebabkan oleh magma yang memaksa naik ke permukaan dan memicu tanah longsor.