Berbeda dengan vaksin lainnya, penerima Vaksin Nusantara harus diambil dulu darahnya untuk kemudian dicampur dengan antigen virus. Ketika antibodi sudah terbentuk selama dua pekan, barulah disuntikkan kembali ke tubuh.
Perusahaan Indonesia memiliki lisensi untuk mengembangkannya. Pada uji klinis tahap I, 23 Desember 2020 di RSUP Kariadi Semarang, 28 relawan menjalaninya. Tim peneliti mengklain vaksin tersebut aman dan manjur meningkatkan antibodi.
Sehingga meminta BPOM mengeluarkan persetujuan pelaksanaan uji klinis tahap II. Namun, BPOM enggan menerbitkannya.
Komnas Penilai Obat BPOM menilai metode dendritik yang diterapkan belum dapat dijelaskan sebab reseptor yang berbeda antara pengobatan kanker dan pencegahan infeksi virus.
Dalam inspeksi saat uji klinis tahap I, BPOM mendapati vaksin tidak dibuat dengan steril. Vaksin dibuat secara manual dan open system.
Antigen yang digunakan untuk pembuatan vaksin tidak dijamin sterilitasnya sebab antigen itu hanya untuk riset di laboratorium.
Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia, Zubairi Djoerban menuliskan di akun Twitternya kalau ia mempertanyakan uji klinis fase dua dari vaksin Nusantara.
Zubairi menilai adanya keganjilan dalam publikasi vaksin Nusantara. Terlebih sudah ada relawan yang ikut uji klinis.