Sesar Lembang Ancam Bandung Raya, Pemerintah Daerah di Himbau Tingkatkan Sosialisasi Mitigasi Bencana

26 April 2024, 14:00 WIB
Lokasi Tebing Keraton di Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang berada di zona Sesar Lembang. /Antara/M Agung Rajasa/

MUDANESIA - Kekhawatiran terhadap aktivitas Sesar Lembang kembali mengemuka. Sesar Lembang yang begitu pulas dalam masa istirahatnya selama lebih dari 5 abad itu memang perlu kita waspadai.

Sesar Lembang adalah sebuah patahan geser aktif yang memanjang dari Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat hingga Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang yang memiliki jarak sekitar 29 Km. Sesar Lembang ini kemudian bertemu dengan patahan yang lain di Padalarang yaitu Sesar Cimandiri.

Seperti diketahui, berdasarkan hasil penelitian bahwa pergerakan sesar Lembang dipicu oleh dorongan lempeng Indo Australia dari selatan yang tertahan oleh lempeng Eurasia dari utara.

Sebuah gempa dangkal dengan kekuatan 3,3 skala richter tercatat pernah terjadi pada tanggal 28 Agustus 2011 yang merusak 384 rumah warga Kampung Muril Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.

Dari hasil penelitian, di ketahui bahwa Sesar Lembang memiliki karakteristik yang berbeda yaitu pada pergeseran bagian timur itu bergeser tegak atau vertikal sehingga membuat daerah di sebelah utara sesar turun sekitar 460 m dari bagian di sebelah selatannya. Lalu semakin ke barat, pergeseran tegak semakin berkurang hingga hanya sekitar 40 m.

Kemudian perbedaan karakter lainnya yaitu di bagian barat, pergeseran gerak yaitu mendatar ke kiri. Bukannya bergeser secara vertikal seperti di segmen timur.

Pada tahun 2006, beberapa peneliti dari ITB, LIPI (Sekarang BRIN) dan beberapa institusi lain. Melakukan riset dengan melalui dua metode yaitu pengamatan melalui GPS (Sistem Pemosisi Global) dan penggalian tanah.

Penelitian yang berlangsung hingga tahun 2011 menyimpulkan bahwa Sesar Lembang ini merupakan sesar aktif dan penelitian pun terus dilanjutkan hingga kini.

Dari hasil penelitian melalui metode penggalian di daerah Batu Lonceng dan Panyairan Kecamatan Cimenyan Kab Bandung. Diperkirakan, pada masa lalu telah terjadi dua kali gempa bumi besar. Hal tersebut berdasarkan penelitian lapisan kontur tanah.

Selain itu dalam jurnal yang dipublikasikan di Geoscience Letters, dalam kurun waktu tahun 2009 hingga 2015 setidaknya tercatat 4 gempa yang terjadi di sepanjang jalur Sesar Lembang yang terdeteksi oleh jaringan sensor gempa regional milik BMKG. Di susul oleh penelitian Nugraha dan Supendi pada tahun 2018 yang dipublikasikan oleh Journal of Physics, juga mencatat terjadinya 2 gempa bumi pada 14 dan 18 Mei 2017 di Sesar Lembang.

Pada tahun 2017, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga merilis hasil penelitian, bahwa Sesar Lembang ini memiliki laju pergerakan dengan kecepatan 5,00 milimeter per tahun. Dengan potensi gempa bumi di jalur yang dilalui Sesar Lembang dengan magnitudo maksimum 6,8

Kemudian dari hasil penelitian simulasi, tingkat guncangan dengan skenario kegempaan yang memiliki kekuatan 6,8 skala Richter dengan kedalaman 10 kilometer di zona Sesar Lembang, menunjukkan hasil yaitu dampak gempa bisa mencapai skala intensitas VII-VIII MMI atau setara dengan percepatan tanah maksimum 0,2—0,6 g, dengan deskripsi terjadi kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi kuat.

Kepala Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono seperti yang dikutip dari antara, menyatakan bahwa BMKG telah mulai memasang dan mengoperasikan seismograf WWSSN (World Wide Standardized Seismograph Network) pertama kali di Lembang pada 1 Januari 1963.

Baru pada tahun 2008 semua aktivitas kegempaan di Sesar Lembang mulai terpantau lebih baik karena BMKG mulai mengoperasikan jaringan monitoring gempa digital menggunakan sensor gempa dengan kawasan frekuensi lebar.

"Bukan berarti sebelum 2008 di Sesar Lembang tidak terdapat aktivitas gempa. Jarangnya aktivitas gempa saat itu karena sensor gempa belum sebanyak seperti sekarang, sehingga beberapa aktivitas gempa lokal dengan magnitudo kecil tidak terekam dengan baik." ujar Daryono

Daryono juga menegaskan, bahwa aktivitas kegempaan dari Sesar Lembang tak mungkin bisa diprediksi. Hal tersebut merupakan faktor yang wajib diwaspadai. "Kapan gempa kuat akan terjadi, tidak seorang pun ada yang tahu," tegasnya.

Menurutnya, gempa bisa saja terjadi dari keadaan yang sangat tenang, karena dikhawatirkan terjadinya pengumpulan energi hingga akhirnya suatu waktu energi itu terlepas dengan kekuatan maksimal magnitudo aktif hingga 6,8 skala Richter.

Daryono kembali mengatakan bahwa pada tahun 2019, BMKG telah mengoperasikan 16 sensor seismik periode pendek lebih rapat untuk melengkapi 19 seismograf frekuensi lebar yang sudah beroperasi di Jawa Barat dan Banten. Sensor gempa yang sengaja dipasang untuk bisa lebih mendeteksi pergerakan Sesar Lembang, Cimandiri, dan Baribis.

Dari hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh Agung Muljo dan Faisal Helmi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran dan dirilis dalam jurnal Sesar Lembang dan Resiko Kegempaan mengungkapkan, bahwa dari hasil penginderaan jauh memperlihatkan adanya bentuk punggungan yang memanjang dari barat hingga ke timur. Terlihat adanya bentuk lereng lereng terjal di samping perbukitan tersebut yang diperkirakan sebagai gawir sesar. Hasil penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa di dalam daerah sesar soliditas batuan berkurang sehingga jika terjadi gelombang gerakan pada kulit bumi maka sebagian besar rambat gelombang akan melalui jalur sesar. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat zona rawan gempa di sepanjang jalur sesar Lembang yaitu Lembang Kota, Pasar Lembang, Teropong Bintang, Lokasi Wisata Maribaya. Pemukiman di sekitar Desa Cibodas dan beberapa lokasi peristirahatan di bagian barat Lembang.

Penelitian yang di rilis dalam jurnal tersebut juga menganalisis tingkat kerawanan pada tiga kecamatan yaitu Kecamatan Lembang yang terdiri dari Desa Lembang, Pagerwangi, Kayu Ambon, Gudang Kahuripan, Langensari. Lalu Kecamatan Parongpong yang terdiri dari Desa Cihideung, Ciwaruga, Cigugurgirang, Karyawangi, Cihanjuang, Cihanjuang Raya.
Kemudian Kecamatan Cisarua yang terdiri dari Desa Kertawangi, Jambudipa, Padasih dan Pasirhalang.

Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bawa ada 3 Desa di. Kecamatan Parongpong yang memiliki tingkat resiko kerawanan yang tinggi yaitu Desa Karyawangi, Cigugurgirang dan Cihanjuang. Kemudian 1 Desa berada di Kecamatan Cisarua yaitu Desa Kertawangi.

Sedangkan Desa Pagerwangi, Langensari di Kecamatan Lembang. Lalu Desa Cihideung, Cihanjuang Raya, Ciwaruga di Kecamatan Cihideung serta Desa Jambudipa, Padaasih di Kecamatan Cisarua memiliki tingkat resiko kerawanan sedang.

Sementara, Desa Kayu Ambon, Gudang Kahuripan, Lembang di Kecamatan Lembang dan Pasirhalang di Kecamatan Cisarua memiliki resiko kerawanan yang rendah.

Berdasarkan hasil penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam laman resminya, pada 4 Januari 2024, tercatat terdapat 20 desa di 4 kecamatan Kabupaten Bandung Barat yang masuk ke dalam zona bahaya oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Selain itu, diperkirakan ada lebih dari 150.000 penduduk diperkirakan akan terkena dampak dari pergerakan dari sesar Lembang, dengan perkiraan kerugian ditaksir mencapai Rp. 4 triliun.

Sementara itu, berdasarkan penelitian Pusat Survei Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) Marjiyono yang melakukan penelitian dengan metode mikrotremor di 97 titik di Kota Bandung pada tahun 2011, mengatakan bahwa terdapat faktor penguatan rambatan gelombang gempa di Kota Bandung berkisar 2,2 sampai 17. Sedangkan penguatan tertinggi yang mencapai 16,5 diprediksi akan terjadi di daerah Gedabage. Diperkirakan efek goncangan di Gedebage bisa lebih besar 16,5 kali daripada di Lembang. Karena Gedebage berada pada titik paling rendah atau dalam saat Kota atau cekungan Bandung masih berbentuk danau.
Kemudian, gempa juga dapat memicu potensi longsor di Dago Atas, Pasir Wangi, hingga Cisurupan.

Peneliti di Pusat Riset Kebencanaan Geologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa, dalam acara diskusi 'TALK TO SCIENTISTS bertema "Pemetaan Sesar Pulau Jawa serta Mitigasi Resiko Bencana Geologi" seperti dikutip dalam channel YouTube Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (23/4/2024), mengatakan Bandung berdiri di atas bekas danau purba. Dengan kondisi struktur bebatuan yang lunak. Sehingga di khawatirkan jika terjadi gempa di Sesar Lembang maka Kota Bandung akan mengalami goncangan yang lebih kuat.

"Jadi walau pun Sesar Lembang dengan Kota Bandung, misalkan, jaraknya lebih dari 7 kilometer, tetapi bisa jadi yang berada di Kota Bandung ini merasakan goncangan yang sangat kuat karena dia berada di atas tanah yang lunak," ungkap Nuraini.

Sementara berdasarkan hasil perhitungan Pusat Penelitian Mitigasi Bencana (PPMB) ITB yang memperkirakan akan kerusakan sekitar 2,5 juta rumah di Bandung dengan 500.000 di antaranya diperkirakan mengalami rusak total. Sedangkan potensi kerugian ekonomi akibat gempa bumi karena Sesar Lembang mencapai Rp. 51 triliun.

Tentunya berbagai kajian yang di lakukan bukan bermaksud menakut nakuti. Namun, agar semua pihak sesegera mungkin mulai melakukan berbagai langkah untuk mempersiapkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Dengan meningkatkan kewaspadaan dan mulai mempersiapkan langkah mitigasi bencana sesegera mungkin.

Ingat, kita bisa belajar dari Jepang sebuah negara yang begitu akrab dengan gempa bumi sehingga semua elemen baik pemerintahan dan masyarakat sudah bisa cepat beradaptasi dan hidup berdampingan dengan potensi bencana seperti gempa bumi.

Dari berbagai video di media sosial kita bisa melihat bagaimana orang orang di Jepang sudah tidak lagi panik dengan guncangan gempa bumi. Saat gempa terjadi, seolah semua prosedur untuk mengamankan diri sudah tertanam dalam pikiran mereka. Sehingga mereka dengan tenang tanpa panik menuju ke tempat tempat aman yang sudah dipersiapkan pemerintah.***

Editor: Alif Niyu Ramdhan Rusyadi

Sumber: Mudanesia

Tags

Terkini

Terpopuler