Sesar Lembang Ancam Bandung Raya, Pemerintah Daerah di Himbau Tingkatkan Sosialisasi Mitigasi Bencana

- 26 April 2024, 14:00 WIB
Lokasi Tebing Keraton di Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang berada di zona Sesar Lembang.
Lokasi Tebing Keraton di Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang berada di zona Sesar Lembang. /Antara/M Agung Rajasa/

Selain itu dalam jurnal yang dipublikasikan di Geoscience Letters, dalam kurun waktu tahun 2009 hingga 2015 setidaknya tercatat 4 gempa yang terjadi di sepanjang jalur Sesar Lembang yang terdeteksi oleh jaringan sensor gempa regional milik BMKG. Di susul oleh penelitian Nugraha dan Supendi pada tahun 2018 yang dipublikasikan oleh Journal of Physics, juga mencatat terjadinya 2 gempa bumi pada 14 dan 18 Mei 2017 di Sesar Lembang.

Pada tahun 2017, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga merilis hasil penelitian, bahwa Sesar Lembang ini memiliki laju pergerakan dengan kecepatan 5,00 milimeter per tahun. Dengan potensi gempa bumi di jalur yang dilalui Sesar Lembang dengan magnitudo maksimum 6,8

Kemudian dari hasil penelitian simulasi, tingkat guncangan dengan skenario kegempaan yang memiliki kekuatan 6,8 skala Richter dengan kedalaman 10 kilometer di zona Sesar Lembang, menunjukkan hasil yaitu dampak gempa bisa mencapai skala intensitas VII-VIII MMI atau setara dengan percepatan tanah maksimum 0,2—0,6 g, dengan deskripsi terjadi kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi kuat.

Kepala Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono seperti yang dikutip dari antara, menyatakan bahwa BMKG telah mulai memasang dan mengoperasikan seismograf WWSSN (World Wide Standardized Seismograph Network) pertama kali di Lembang pada 1 Januari 1963.

Baru pada tahun 2008 semua aktivitas kegempaan di Sesar Lembang mulai terpantau lebih baik karena BMKG mulai mengoperasikan jaringan monitoring gempa digital menggunakan sensor gempa dengan kawasan frekuensi lebar.

"Bukan berarti sebelum 2008 di Sesar Lembang tidak terdapat aktivitas gempa. Jarangnya aktivitas gempa saat itu karena sensor gempa belum sebanyak seperti sekarang, sehingga beberapa aktivitas gempa lokal dengan magnitudo kecil tidak terekam dengan baik." ujar Daryono

Daryono juga menegaskan, bahwa aktivitas kegempaan dari Sesar Lembang tak mungkin bisa diprediksi. Hal tersebut merupakan faktor yang wajib diwaspadai. "Kapan gempa kuat akan terjadi, tidak seorang pun ada yang tahu," tegasnya.

Menurutnya, gempa bisa saja terjadi dari keadaan yang sangat tenang, karena dikhawatirkan terjadinya pengumpulan energi hingga akhirnya suatu waktu energi itu terlepas dengan kekuatan maksimal magnitudo aktif hingga 6,8 skala Richter.

Daryono kembali mengatakan bahwa pada tahun 2019, BMKG telah mengoperasikan 16 sensor seismik periode pendek lebih rapat untuk melengkapi 19 seismograf frekuensi lebar yang sudah beroperasi di Jawa Barat dan Banten. Sensor gempa yang sengaja dipasang untuk bisa lebih mendeteksi pergerakan Sesar Lembang, Cimandiri, dan Baribis.

Dari hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh Agung Muljo dan Faisal Helmi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran dan dirilis dalam jurnal Sesar Lembang dan Resiko Kegempaan mengungkapkan, bahwa dari hasil penginderaan jauh memperlihatkan adanya bentuk punggungan yang memanjang dari barat hingga ke timur. Terlihat adanya bentuk lereng lereng terjal di samping perbukitan tersebut yang diperkirakan sebagai gawir sesar. Hasil penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa di dalam daerah sesar soliditas batuan berkurang sehingga jika terjadi gelombang gerakan pada kulit bumi maka sebagian besar rambat gelombang akan melalui jalur sesar. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat zona rawan gempa di sepanjang jalur sesar Lembang yaitu Lembang Kota, Pasar Lembang, Teropong Bintang, Lokasi Wisata Maribaya. Pemukiman di sekitar Desa Cibodas dan beberapa lokasi peristirahatan di bagian barat Lembang.

Halaman:

Editor: Alif Niyu Ramdhan Rusyadi

Sumber: Mudanesia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah