Darurat Terhadap Hak Masyarakat Dalam Beragama dan Berkeyakinan

- 21 April 2024, 20:30 WIB
Ifahrul Anam, S.H., (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang)
Ifahrul Anam, S.H., (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang) /Istimewa/

MUDANESIA - Setiap warga negara Indonesia memiliki hak asasi nya masing-masing, begitupun dalam halnya untuk beragama dan berkeyakinan. Kebebasan beragama dan berkeyakinan (freedom of religion and belief ) merupakan salah satu bagian dari HAM yang sudah melekat sejatinya sejak ia lahir yang datangnya dari Tuhan dan harus dilindungi, dipertahankan, dihormati, dan tidak boleh diabaikan, dirampas oleh siapapun.

Indonesia sepakat untuk menjunjung tinggi HAM untuk setiap warga negaranya bahkan untuk seluruh dunia, terutama dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tertuang dalam UUD 1945. Pada amandemen kedua UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah memasukkan satu bab yang secara khusus memberi landasan penjaminan HAM bagi setiap warga negara, yakni BAB XA.

Pada bab ini, terdapat sepuluh pasal tentang HAM yang hampir seluruhnya mengadopsi prinsip-prinsip DUHAM dan ICCPR. Salah satu hak asasi yang diatur dalam bab ini menyangkut hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negara, seperti yang diatur dalam Pasal 28E UUD 1945.

Pasal ini menegaskan tentang cakupan hak beragama dan berkeyakinan, yakni hak untuk memeluk agama, hak untuk menganut satu keyakinan dan hak untuk beribadat menurut agama dan keyakinan tersebut.

Kebebasan akan hak-hak tersebut juga di diperkuat oleh beberapan instrumen peraturan perundang-undangan dibawah UUD 1945, antara lain UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, terutama Pasal 4, Pasal 12, dan Pasal 22. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni dalam Pasal 6 dan Pasal 43 ayat (1), UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik atau ICCPR, terutama yang diatur dalam Pasal 18, 20, dan 27.

Hak kebebasan berpendapat, berkeyakinan, dan beragama merupakan salah satu hak yang tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Sementara itu, kebebasan menjalankan agama adalah hak yang dapat dibatasi (derogable rights), karena berkaitan dengan hak-hak orang lain.

Meskipun pembatasan kebebasan beragama sudah diatur secara jelas oleh instrumen tersebut, yakni untuk melindungi lima keamanan yang diperlukan masyarakat, di dalam UUD 1945 Pasal 28J ditambah satu aspek lagi, yakni untuk melindungi nilai-nilai agama. Pasal inilah yang kemudian dipersoalkan oleh pegiat HAM universal terkait dengan nilai-nilai apa saja dari agama itu yang harus dilindungi.

Problematika pembatasan seperti ini dapat dipahami, karena bagi mereka yang terpenting adalah melindungi individu-individu penganut agamanya, bukan pada agama yang diyakininya. Berbeda dengan pandangan tersebut, bagi sebagian masyarakat yang lain pembatasan seperti itu masih dimungkinkan sepanjang diatur oleh uu, semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan nilai-nilai agama.

Pengaturan di Indonesia sendiri walaupun sudah ada jaminan perihal kebabasan beragama dan berkeyakinan, namun saat ini jaminan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat memperihatinkan.

Halaman:

Editor: Alif Niyu Ramdhan Rusyadi

Sumber: Ifahrul Anam, S.H., (Mahasiswa Magister Hukum Unpam)


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x